Keteladanan Imam Al-Ghazali: Adab dan Cinta Ilmu sebagai Jalan Keberkahan

Ilutrasi Kehidupan Imam Al-Ghazali, Foto: Freepik

Assaidiyyah.id: Perjalanan hidup Imam Al-Ghazali menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya adab, rasa hormat, dan cinta terhadap ilmu serta guru. Nilai-nilai ini bukan sekadar formalitas, melainkan kunci untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan keberkahan sejati.

Keberkahan sendiri merupakan sesuatu yang berada di ranah rasa, ia tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Namun nyata dapat dirasakan. Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa “rasa (dzauq) tak bisa dijelaskan dengan ucapan, melainkan hanya dapat diketahui melalui pengalaman langsung.” tulis Imam Al-Ghazali dalam kitab tersebut, dikutip pada Jumat, 17 Oktober 2025.

Kisah hidup Imam Al-Ghazali juga menunjukkan bahwa seorang guru sejati tidak pernah mendidik untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan sebagai bentuk pengabdian dalam menanamkan nilai-nilai bagi muridnya.

Perintah Syekh Al-Atiqi kepada Imam Al-Ghazali agar menyapu lantai, misalnya, bukan semata tugas fisik, tetapi latihan untuk membersihkan hati dari kesombongan agar siap menerima limpahan hikmah dan ilmu dari Allah.

“Sikap hormat dan penghargaan kepada guru telah menjadi bagian penting dalam tradisi pendidikan Islam selama berabad-abad.”

Salah satu kisah yang menggambarkan betapa tingginya adab seorang penuntut ilmu adalah kisah Imam Al-Ghazali (450–505 H), ulama besar yang rela menyapu lantai rumah gurunya dengan tangannya sendiri sebagai wujud kerendahan hati.

Ketawadhuan Imam Al-Ghazali saat Belajar Terhadap Saudaranya

Dalam kitab Maraqil Ubudiyah ‘ala Matan Bidayatil Hidayah karya Syekh Nawawi Al-Bantani (Semarang, Karya Toha Putra, t.t., hlm. 85–86), diceritakan bahwa kisah ini bermula dari saudaranya, Ahmad Al-Ghazali, yang jarang menjadi makmum ketika sang kakak menjadi imam.

Suatu ketika, Al-Ghazali meminta ibunya untuk menasihati Ahmad agar mau shalat berjamaah bersamanya guna menghindari penilaian negatif masyarakat.

Setelah mendapat nasihat ibunya, Ahmad pun menuruti dan menjadi makmum dalam shalat yang diimami Al-Ghazali. Namun, di tengah shalat, Ahmad tiba-tiba memisahkan diri (mufaraqah) karena pandangan batinnya memperlihatkan tubuh Al-Ghazali dipenuhi darah.

Usai shalat, Al-Ghazali menanyakan alasannya. Ahmad menjawab, “Ketika aku shalat di belakangmu, aku melihat tubuhmu berlumuran darah.” Jawaban itu mengejutkan Al-Ghazali, karena ternyata pada saat itu pikirannya sedang sibuk memikirkan hukum darah haid, khususnya tentang wanita mutahayyirah, yakni wanita yang mengalami pendarahan tidak menentu.

Kekaguman Al-Ghazali terhadap kepekaan batin saudaranya pun tumbuh. Ia bertanya dari mana Ahmad memperoleh kemampuan seperti itu. Ahmad menjawab, “Aku belajar kepada Syekh Al-Atiqi, seorang tukang jahit dan pembetul sandal.” Mendengar hal itu, Al-Ghazali segera berangkat untuk menemui guru tersebut.

Kepatuhan pada Sang Guru

Setibanya di sana, ia berkata, “Wahai guru, aku ingin menjadi muridmu dan menimba ilmu darimu.” Syekh Al-Atiqi yang terkenal zuhud menatapnya sejenak dan berkata, “Aku khawatir kamu tidak mampu menaati perintahku.” Al-Ghazali menjawab mantap, “Insyaallah aku sanggup.”

Sang guru pun menguji kesungguhannya. “Kalau begitu, bersihkan lantai ini,” perintahnya. Saat Al-Ghazali hendak mengambil sapu, sang guru menimpali, “Jangan gunakan sapu, bersihkan dengan tanganmu.” Tanpa ragu, Al-Ghazali pun melakukannya dengan sepenuh hati.

Belum berhenti di situ, sang guru kembali menguji dengan perintah lebih berat: “Sekarang bersihkan kotoran itu dengan bajumu.” Ketika Al-Ghazali hendak menuruti, Syekh Al-Atiqi melihat ketulusan luar biasa dalam dirinya, lalu menghentikan perintah itu dan memintanya pulang.

Sejak peristiwa tersebut, Al-Ghazali merasakan ketenangan batin yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hatinya menjadi jernih dan terbuka untuk menerima cahaya ilmu dari Allah. Ia kemudian menyadari bahwa ilmu yang selama ini diajarkannya hanyalah sebagian kecil dari hikmah yang Allah anugerahkan setelah ia benar-benar menundukkan hati di hadapan gurunya.

Wallahu a‘lam.

Disadur dari laman kemenag.go.id

Editor: Muhammad Ni’amillah (Santri Pondok Pesantren Assa’idiyyah Gedongan)

11 Kiat agar Santri Baru Betah di Pesantren

Seorang santri sedang berpelukan dengan orangtuanya selepas sambangan. Olah Digital oleh ITC Asd.

Assaidiyyah.id: Pondok Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, masih dipercaya masyarakat sebagai tempat menempa generasi berilmu dan berakhlak mulia. Namun, bagi santri baru, proses adaptasi sering kali menjadi tantangan.

Sebagai bagian dari memahami kondisi pesantren dan lingkungannya. Para santri dan orang tua perlu memahami dan mengamalkan beberapa langkah yang konkret.

Berikut 11 kiat agar santri betah tinggal di pesantren dikutip dari NU Online, pada Kamis, 24 Juli 2025:

 

1. Niat Ikhlas

Niat mondok harus murni karena Allah dan untuk mencari ilmu agama, bukan demi status atau harta. Santri perlu menyadari bahwa belajar agama adalah perintah langsung dari Tuhan Semesta Alam.

 

2. Hadapi Rindu dengan Ibadah

Rasa rindu, terutama pada masa awal, bisa mengganggu kenyamanan. Membaca Al-Qur’an dan berzikir setelah salat dapat menjadi pengobat hati dan penenang jiwa.

 

3. Adaptasi Lingkungan Baru

Kondisi pesantren mungkin tak seperti di rumah. Fasilitas bersama dan kehidupan sederhana justru menjadi latihan hidup bermasyarakat.

 

4. Cari Teman Baru

Berteman dengan sesama santri, terutama yang rajin dan disiplin, akan memudahkan proses adaptasi sosial dan meningkatkan semangat belajar.

 

5. Sabar Hadapi Karakter Beragam

Tak semua teman menyenangkan. Santri perlu sabar, terutama dalam menghadapi orang-orang yang menyebalkan. Shalat malam dan doa akan membantu memperkuat mental.

 

6. Belajar Mandiri

Di pesantren, santri harus melayani dirinya sendiri, mulai dari mencuci pakaian hingga mengatur jadwal. Ini bagian dari proses pendewasaan.

 

7. Patuhi Aturan

Aturan pesantren, seperti larangan membawa ponsel atau target hafalan, bukan beban, melainkan sarana untuk membentuk kedisiplinan dan fokus belajar.

 

8. Kelola Uang dengan Bijak

Santri perlu mengatur uang kiriman agar cukup sebulan. Menitipkan uang pada pengurus bisa menjadi solusi agar pengeluaran lebih terkontrol.

 

9. Miliki Cita dan Tekad

Semangat belajar akan terjaga jika santri memiliki tujuan hidup yang jelas dan meneladani perjuangan para tokoh besar seperti nabi, ulama, atau pejuang.

 

10. Ingat Harapan Orang Tua

Kepercayaan orang tua adalah motivasi utama. Belajar sungguh-sungguh di pesantren adalah salah satu bentuk bakti yang membanggakan mereka.

 

11. Doa Orang Tua

Selain ikhtiar santri, dukungan spiritual orang tua sangat penting. Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo KH Reza Ahmad Zahid menyarankan agar orang tua membacakan Al-Fatihah sebanyak 41 kali selepas maghrib, diyakini bisa membantu anak lebih mudah menerima pelajaran.

Pada akhirnya, meski kehidupan pesantren penuh tantangan, nilai-nilai seperti kesederhanaan, kemandirian, dan kedisiplinan menjadi bekal berharga untuk masa depan.

Pesantren kini juga semakin adaptif terhadap perkembangan zaman, menjadikannya pilihan utama pendidikan anak di tengah arus pergaulan modern.

Disadur oleh ITC Asd, ditulis oleh Ahmad Naufa, alumni Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Purworejo, Jawa Tengah.

Ceritakan Sejarah Mbah Kiai Sa’id, Kiai Wawan: Mbah Kiai Sa’id Bukan Asli Gedongan

KH. Wawan Arwani sedang menceritakan sejarah silsilah keluarga Mbah Kiai Sa’id. Foto: Source Youtube Media Pesantren Gedongan

Assa’idiyyah.id: Pondok Pesantren Gedongan kembali menggelar tahlil umum dan doa bersama dalam rangka memperingati Haul KH. Muhammad Sa’id ke-94, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan.

KH. Wawan Arwani, salah satu pengasuh Pondok Buntet Pesantren yang juga dzuriyah Mbah Kiai Sa’id dari jalur Kiai Amin bin Kiai Siroj mengatakan bahwa Mbah Kiai Sa’id mendirikan Pesantren Gedongan lebih dari satu abad.

“Mbah Kiai Sa’id mendirikan Pesantren Gedongan berdasarkan satu riwayat, kurang lebih 1800-an.” kata Kiai Wawan disampaikan dalam Kalimatut Tarhib di Maqbaroh KH. Muhammad Sa’id pada Sabtu, 15 Februari 2025.

Ia menambahkan, bahwa Pesantren Gedongan yang berdiri lebih dari satu abad bisa dilihat pada saat memperoleh penghargaan dari resepsi Harlah Satu Abad NU.

“Tahun lalu, ketika NU melaksanakan peringatan Harlah Satu Abad, kemudian memberikan award kepada pesantren-pesantren yang umurnya di atas 100 tahun. Di antara yang menerima adalah Pondok Pesantren Gedongan.” jelas Kiai Wawan yang juga merupakan salah satu Rais Syariah PCNU Kab. Cirebon.

Selain itu, Kiai Wawan menegaskan bahwa Mbah Kiai Sa’id aslinya bukan dari Gedongan melainkan dari Tuk Lemahabang.

“Secara singkat, Mbah Kiai Sa’id bukan asli Pondok Pesantren Gedongan, jadi ke sini itu sebagai pendatang. Sebagai pendatang. Maka, penduduk pertama Gedongan yakni Mbah Kiai Sa’id dengan santri-santrinya.” katanya.

Dalam kesempatan itu, Kiai Wawan mengungkapkan bahwa warga yang sekarang sudah bersatu padu dengan pesantren merupakan komunitas atau masyarakat pesantren yang dinikahkan oleh Mbah Kiai Sa’id di awal-awal pasca menempati tanah Gedongan.

“Jadi, Pesantren Gedongan ini jika dibandingkan dengan pesantren lain. Salah satu yang membedakan Pesantren Gedongan, lainnya itu pesantren masyarakat adalah masyarakat pesantren. Karena masyarakat Gedongan itu keturunan awal-awal santri Mbah Kiai Sa’id Pondok Pesantren Gedongan.” ujarnya.

Sementara itu, Kiai Wawan menjelaskan bahwa barokah itu mutlak datang dari Allah, sebagaimana kaum muslimin menghadiri Haul Mbah Kiai Sa’id.

“Hari ini, kita semua tabarrukan (ngalap berkah) Mbah Kiai Sa’id dan para masyayikh almarhumin Pondok Pesantren Gedongan. Kita semua yakin bahwa Allah menurunkan barokah.” tegas Kiai Wawan.

Di sisi lain, Kiai Wawan kembali menceritakan bahwa Mbah Kiai Sa’id bukan asli warga Gedongan, namun berasal dari Tuk Lemahabang yang sekarang berubah nama daerahnya menjadi Tuk Karangsuwung.

“Dulu ternyata, Tuk ini merupakan santri pengembangan keilmuan dan juga pertahanan masyarakat Cirebon dalam menghadapi Belanda. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pesantren dan dunia keilmuan pesantren sesudahnya berkembang di antaranya di daerah Tuk.” ungkap Kiai Wawan.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dapat dibuktikan pesantren Tuk merupakan daerah yang melahirkan pesantren-pesantren berikutnya.

“Sering kita dengar, bahwa Pesantren Benda Kerep, Pesantren Buntet dan Pesantren Gedongan itu kakak adik yang asalnya dari Tuk Lemahabang yakni Mbah Muqoyyim.” tegas Kiai Wawan.

Maqbaro KH. Moh. Sa’id dan Sesepuh jelang tahlil umum dan doa bersama. Foto: ITC Asd

Silsilah KH. Muhammad Sa’id

Berikutnya, Kiai Wawan menceritakan silsilah keluarga Kiai Sa’id dari garis keturunan Kiai Muta’ad yang merupakan kakak dari Ny. Hj. Maemunah.

“Mbah Kiai Muta’ad bin Kiai Muridin bin Kiai Nurudin, kemudian ke Pangeren Munjul dan nyambung ke Sunan Gunung Jati.” kata Kiai Wawan sambil berkelakar, Sunan Gunung Jati bukan Habib.

Mbah Kiai Sa’id memiliki dua istri, pertama Nyai Hj. Maemunah tinggal bersama dengan Mbah Kiai Sa’id di Gedongan. Kedua Nyai Bunut yang tinggal di Gebang.

Nyai. Hj. Maemunah bintu Kiai Muta’ad. memiliki kakak bernama KH. Soleh Zam-zam, orang yang pertama mendirikan Pesantren Benda Kerep.

Nyai Hj. Maemunah memiliki adik laki-laki bernama KH. Abdul Jamil Buntet yang meneruskan Pondok Buntet Pesantren. Kenapa dikatakan meneruskan, karena pada waktu itu, Buntet sudah lebih dulu ada jauh sebelum adanya KH. Abdul Jamil. Buntet sendiri didirikan oleh Mbah Muqoyyim.

Dari jalur Ny. Hj. Maemunah, Mbah Kiai Sa’id memiliki anak pertama KH. Nachrowi, diambil menantu oleh KH. Soleh Zam-zam. Sedangkan dari jalur Ny. Bunut memiliki putra K. Murtadho diambil menantu oleh Mbah Abdul Jamil.

Perkembangan keturunan Mbah Kiai Sa’id sekarang tersebar di beberapa pesantren. Ada yang di PP. Lirboyo, Kediri, PP Kempek, Gempol, Mertapada, Gedongan, Demak dan Lampung.

Salah satu penyebab keturunan Mbah Kiai Sa’id tersebar di beberapa pesantren, karena berawal dari mesantren kemudian diambil menantu oleh pengasuh pesantren.

Sebagai contoh, KH. Mahrus Ali, diambil menantu oleh Mbah Kiai Abdul Karim, Lirboyo. KH. Aqil diambil menantu oleh KH. Harun, Kempek.

Di sisi lain, Kiai Wawan meyakini bahwa Haul yang diperingati setiap tahun dapat mendatangkan barokah dan karomah.

“Barokah datang dari Allah dan Allah menempelkan barokah pada tiga perkara. Pertama, barokatul azman yakni barokah yang datang dari Allah melalui waktu-waktu tertentu yang tidak terdapat pada waktu lain. Kedua, barokatul amkan yakni barokah yang datang dari Allah melalui tempat-tempat tertentu seperti Haromain (Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah). Ketiga, barokatul a’yad barokah yang datang dari Allah melalui individu-individu seperti para nabi dan rasul, wali dan ulama, sahabat dan orang-orang saleh. Dan kita yakin bahwa Kiai Sa’id memiliki barokah dari Allah SWT.” jelas Kiai Wawan.

Lazim kita ketahui, bahwa banyaknya para penghafal Al-Qur’an di Indonesia itu bersanad kepada KH. Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Di mana peran Mbah Kiai Sa’id sangat berpengaruh pada awal mula KH. Munawir merintis pondok pesantren penghafal Al-Qur’an. Mbah Kiai Sa’id memberikan bantuan materi untuk KH. Munawir pada saat berada di Makkah Al Mukarromah.

“Seluruh para huffadzil qur’an, guru-guru Al-Qur’an sekarang di Indonesia dan di pesantren mana pun, insyaAllah sanad Al-Qur’an dari KH. Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Kemudian, KH. Munawwir Krapyak, Yogyakrta siap mendirikan pesantren, siap intisyarul ‘ilmi (menyebarkan ilmu) atas dasar perintah Mbah Kiai Muhammad Sa’id.” katanya.

Ia berharap bahwa peringatan haul ini dapat memberikan manfaat, barokah dan dampak positif bagi masyarakat luas.

“Sekali lagi, semoga kita semua yang pada hari ini ikut menghadiri haul di tempat ini, menghormati Almaghfurlah Mbah Kiai Sa’id dan masyayikh Pondok Pesantren Gedongan yang lain, mendapatkan barokah dan karomah, khususnya barokah dan karomah Mbah Kiai Sa’id. Aamiin Ya Robbal Alamin.” pungkasnya.

Kolomnis: Ni’amillah

Hikmah Di Balik Adanya Asyhurul Hurum atau Empat Bulan Mulia Dalam Islam

Nama-nama bulan Hijriyah dalam Islam/Foto: MGN

Seperti yang telah jamak diketahui, Allah swt telah menghiasi dua belas bulan dalam satu tahun dengan adanya asyhurul hurum atau bulan-bulan yang dimuliakan, yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab yang memiliki keistimewaan tersendiri. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌۗ ذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةًۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ ۝٣٦

Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 36)

Selain itu, saat haji wada, Nabi Muhammad dalam khutbahnya juga bersabda:

إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Artinya: “Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, diantaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudlar yaitu antara Jumadil Tsani dan Sya’ban.” (HR. Bukhari)

Keutamaan Bulan Rajab dalam Al-Qur’an Syekh Amin Al-Kurdi (w. 1332 H/1914 M) dalam kitabnya yang berjudul Dhau’us Siraj fi Fadhli Rajab wa Qishatil Mi’raj menyatakan bahwa dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW memberikan isyarat bahwa sejak Allah menciptakan langit dan bumi, malam dan siang, matahari, bulan, serta bintang, Allah juga telah menentukan kedua belas bulan berdasarkan hitungan hilal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam syariat, perhitungan tahun tidak didasarkan pada peredaran dan perpindahan matahari, melainkan pada peredaran bulan dan terbitnya hilal.

Adapun maksud Nabi Saw mengatakan demikian, lanjut Syekh Amin, adalah untuk menghapus perbuatan masyarakat Jahiliah yang pada waktu itu seringkali mengakhirkan kemuliaan bulan-bulan haram (asyhurul hurum) dan memindahkannya ke bulan-bulan lainnya. Perbuatan mereka ini dikenal dengan istilah an-nasi’.

Jika datang bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, ​​​​​​Muharram, dan Rajab), dan kebetulan mereka sedang melakukan peperangan, maka mereka dengan beraninya menghalalkan peperangan mereka, dan menganggap haram pada bulan lainnya. Lebih parahnya lagi, mereka juga menentang keistimewaan bulan-bulan haram (asyhurul hurum) dan hanya menganggap itu semua hanya sekadar hitungan belaka.

Misalnya, ketika mereka kebetulan sedang berperang pada bulan Muharram, maka mereka menganggap hal itu halal dan hukum haram perang mereka akhirkan dan pindahkan pada bulan berikutnya, yakni bulan Shafar. Begitu seterusnya sampai berputarlah bulan-bulan tersebut selama setahun.

Dari hadits di atas, Nabi Muhammad saw ingin memberitahu bahwa waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Selain itu, Nabi juga memerintahkan agar menjaga waktu agar tidak diganti-ganti di kemudian hari. (Syekh Amin Al-Kurdi, Dhau’us Siraj fi Fadhli Rajab wa Qishatil Mi’raj, [Mesir: Mathba’ah As-Sa’adah, tt], hal. 11-12)

Hikmah Asyhurul Hurum​​​​​​​

Lantas, mengapa Allah memilih empat bulan tersebut (Dzulqa’dah, ​​​​​​​Dzulhijjah, ​​​​​​​Muharram, dan Rajab) sebagai bulan-bulan mulia (asyhurul hurum)? Hikmah apa yang ada di balik pemilihan empat bulan tersebut?

Syekh Amin Al-Kurdi mengutip pendapat Ka’ab Al-Ahbar, alasan pemilihan keempat bulan tersebut sebagai bulan haram adalah karena kalau bulan Dzulqa’dah itu adalah bulan di mana orang-orang yang berhaji mulai melakukan perjalanan ke Tanah Suci, sedangkan kalau bulan Dzulhijjah karena orang-orang yang berhaji sedang melaksanakan kewajibannya di bulan itu. Adapun bulan Muharram karena orang-orang yang berhaji mulai pulang ke tanah air masing-masing.

Sehingga, dipilihnya bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram sebagai bulan-bulan mulia (asyhurul hurum) adalah agar para jamaah haji merasa aman mulai dari melakukan perjalanan ke tanah suci sampai pulang ke tanah air masing-masing.

Adapun alasan dipilihnya bulan Rajab sebagai bagian dari asyhurul hurum adalah karena biasanya orang-orang yang domisilinya dengan dengan Makkah melaksanakan umrah paruh tahun pada bulan Rajab tersebut.

Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa alasan dari pemilihan empat bulan (Dzulqa’dah, ​​​​​​​Dzulhijjah, ​​​​​​​Muharram, dan Rajab) sebagai bulan-bulan yang dimuliakan (asyhurul hurum) adalah untuk memberikan rasa aman dan tentram bagi orang-orang yang akan beribadah haji dan umrah pada bulan-bulan tersebut.

Jaminan keamanan dalam beribadah ini tentunya sangat penting sekali, mengingat seseorang tidak akan bisa melaksanakan ibadah dengan maksimal kecuali dalam keadaan aman dan tentram dari ancaman musuh dan sebagainya.

Oleh: Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.

Editor: Muhammad Ni’amillah

Sumber: https://islam.nu.or.id/hikmah/hikmah-adanya-asyhurul-hurum-atau-empat-bulan-mulia-dalam-islam-GfSod

#bulanmulia #hijriyah #keislaman

10 Cara Memuliakan Orang Tua dalam Islam

ilustrasi/photo/doaorangtua

Assa’idiyyah.id – Sebenarnya ada banyak cara dalam berbakti dan memuliakan orang tua, karena hal tersebut merupakan ajaran yang sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Orang tua selain orang yang berpengaruh bagi kehidupan anaknya, mereka juga menjadi wasilah bagi anak-anaknya hidup sukses di dunia maupun di akhirat.

Saking utamanya amalan, Allah memerintahkan berbakti atau memuliakan orang tua dalam surat Al-Isra ayat 23, yang berbunyi:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Artinya: “Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”

Di antara bentuk bakti kita kepada orang tua ketika mereka masih hidup adalah dengan mendoakan mereka, berbuat baik kepada keduanya, menaati perintah mereka, melayani keperluan mereka, mengakui keutamaan mereka, mencukupi kebutuhan mereka, duduk bersama mereka, merendahkan suara di hadapan mereka, menjawab panggilan mereka, dan mendengarkan dengan seksama jika mereka berbicara kepada kita.

Semua yang kita lakukan sungguh cara terbaik mendekati Allah SWT, karena amalan yang memang paling dicintai oleh Allah adalah memuliakan orang tua.

10 Cara Memuliakan Orang Tua

Berikut 10 cara memuliakan orang tua, dikutip dari beberapa sumber, yakni:

1. Bertutur Kata dengan Baik

Semua anak pasti sudah berkomunikasi dengan orang tuanya. Sayangnya, terkadang secara tidak sadar seorang anak emosi saat berbicara dan bertutur kata. Hal itu harus dihindari, bahkan berkata “Ah,” kepada orang tua tidak diperbolehkan dalam Islam.

2. Melakukan Kebiasaan Baik Orang Tua

Orang tua selalu mengajarkan sesuatu hal yang baik, salah satunya dengan bersikap pada orang lain. Misalnya, saat orang tua selalu menyapa tetangga sebelum pergi bekerja, rutinitas ini juga baik untuk ditiru oleh anak untuk menjaga silaturahmi.

3. Memberikan Kehidupan yang Layak

Saat sudah mampu mencari nafkah, seorang anak juga dianjurkan untuk dapat memastikan kehidupan orang tuanya layak. Memang tidak ada kewajiban untuk ‘membayar’ jasa orang tua, tapi hal ini menjadi kebajikan bagi kedua orang tua.

4. Membuat Orang Tua Bangga

Orang tua juga sudah berusaha mendidik anak dengan baik hingga dewasa. Oleh karena itu, setiap anak wajib melakukan hal terbaik agar orang tua bangga atas pencapaian anaknya. Selama sahabat menuruti ajaran orang tua, orang tua akan selalu bangga dan bahagia.

5. Memprioritaskan Orang Tua

Dalam setiap kesempatan, sahabat harus selalu memprioritaskan orang tua, terutama ibu dan selalu berbuat baik kepadanya. Sabda Rasulullah SAW menyebutkan bahwa surga berada di bawah kedua kaki ibu sehingga sahabat harus selalu mengabdi kepadanya.

6. Menghargai Pilihannya

Sahabat pasti pernah mengalami perbedaan pendapat dengan orang tua. Semakin dewasa, pasti ada hal-hal yang tidak sesuai dengan prinsip hidup dan pola pikir. Namun, sahabat harus selalu menghargai pilihan yang dibuat oleh kedua orang tua meskipun berbeda.

7. Membantu Mewujudkan Keinginannya

Orang tua pasti selalu memberikan dukungan agar bisa mewujudkan mimpi anaknya. Karena itu, sahabat juga harus mendukung keinginan kedua orang tua. Menjelang masa tua, bantu orang tua untuk mewujudkan keinginan-keinginannya.

8. Rutin Memberi Kabar

Komunikasi dengan orang tua juga sangat penting untuk sahabat lakukan secara rutin. Hal ini menjadi salah satu cara untuk senantiasa bersilaturahmi, terutama memberikan kabar baik yang menyenangkan hati keduanya.

9. Merawat di Usia Senja

Orang tua sudah merawat anak sejak kecil sehingga anak juga sudah seharusnya merawat kedua orang tua yang sudah memasuki usia senja. Meski tidak mudah, menjaga dan merawat orang tua menjadi hal mulia yang akan diberi ganjaran berlipat oleh Allah.

10. Mendoakan

Jika sedang berada jauh dari orang tua, doakanlah keduanya agar selalu berada di dalam lindungan Allah. Hal ini tentu juga harus dilakukan ketika kedua orang tua telah tiada. Doa dari anak akan menjadi amalan yang dibawa oleh orang tua hingga ke alam kubur.

10 cara di atas merupakan kiat dan aktivitas yang sudah populer di kalangan masyarakat. Sudah sepatutnya setiap anak memuliakan orang tua dengan tulus dan ikhlas karena Allah SWT. Jadi, memuliakan orang tua sebenarnya bisa dilakukan dengan sikap-sikap sederhana. Tak perlu melakukan sesuatu yang sulit, sebagai anak kita perlu menjaga dan menyayangi keduanya sebagaimana kasih sayang mereka sejak kecil hingga sekarang.

Amaliyah Bulan Rajab, Refleksi Muslim Di Bulan Haram

Salah satu bulan mulia dalam kalender hijriah yaitu bulan Rajab. Bulan Haram (bulan yang dihormati) dalam Islam ada empat, satu di antara bulan Haram tersebut yakni Bulan Rajab, bulan yang memiliki banyak keutamaan di dalamnya.

Sebagaimana Rasulullah Saw menyampaikan dalam hadisnya, bahwa bulan Rajab adalah bulan Allah, bulan Sya’ban adalah bulan Rasulullah, dan bulan Ramadan adalah bulan Umat Nabi.

Syekh Abdul Qodir Al Jailani dalam Al-Gunyah meriwayatkan satu hadis di bulan Rajab:

رجب شهر الله، وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي

“Rajab bulannya Allah, Sya’ban bulanku (Rasulullah) dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Momen bulan Rajab adalah momen penting untuk refleksi bagi bulan Syaban dan bulan Ramadan mendatang. Pasalnya bulan Rajab dikatakan sebagai bulan menanam, bulan Syaban sebagai bulan menyiram dan bulan Ramadan sebagai bulan memanen.

Di dalam bulan Syaban terdapat banyak sekali amalan yang dapat umat muslim kerjakan di antaranya puasa sunah di hari pertama bulan Rajab, salat sunah dan dzikir al ma’tsurat di hari-hari lainnya.

Para Ulama dalam hal ini sepakat, bahwa amalan yang terdapat di dalam bulan Rajab ialah sebagai fadhoilul a’mal (keutamaan amal). Jika ragu untuk melakukannya, teman-teman bisa bertanya langsung kepada ulama setempat.

“Rajab merupakan bulan Allah SWT, yang mestinya umat Islam ketahui, untuk selalu meningkatkan kualitas takwa dan ibadahnya, agar sampai pada bulan Sya’ban dan bulan Ramadan. In syaa Allah.”

Amaliyah bulan Rajab bisa kita temukan pada bacaan berikut:

Dok. instagramstories/share

#amaliyah #bulanrajab

Editor: Muhammad Ni’amillah

Memasuki Bulan Rajab: Ini Doa yang Dipanjatkan Rasulullah

Dok. Foto: Bincang Syariah

Memasuki bulan ketujuh Hijriah ini, Rasulullah saw memanjatkan doa khusus. Karenanya umat Islam hendaknya memperbanyak doa tersebut. Redaktur Eksekutif NU Online Ustadz H Mahbib Khoiron menulis doa tersebut dalam artikelnya yang berjudul Doa Rasulullah saat Memasuki Bulan Rajab. Doa tersebut sebagaimana ia kutip dari kitab Al-Adzkâr An-Nawawiyah yang ditulis Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi.

Berikut doanya.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Allâhumma bârik lanâ fî rajaba wasya‘bâna waballighnâ ramadlânâ  

Artinya, “Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan.”

Selain membaca doa di atas, umat Islam juga disunnahkan untuk memperbanyak puasa di bulan Rajab, tidak hanya menambah intensitas berdzikir dan berdoa. Anjuran itu juga sebagaimana dilakukan pada bulan-bulan haram lainnya, yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, dan Muharram. Bulan haram adalah sebutan yang merujuk sejarah dilarangnya umat Islam mengadakan peperangan pada bulan-bulan itu. Sebagaimana diketahui, Selasa (31/12/2024) bertepatan dengan 29 Jumadal Akhirah 1446 H.

Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) telah mengeluarkan data hilal dan instruksi rukyatul hilal bulan Rajab 1446 H pada Selasa sore ini. Hal ini tertuang dalam Surat LF PBNU Nomor 14/PB.08/A.ll.08.47/13/12/2024 yang ditandatangani Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa dan Sekretaris LF PBNU H Asmui Mansur pada Sabtu (30/12/2024).

Data tersebut menunjukkan kemungkinan besar hilal terlihat mengingat ketinggian dan elongasi hilal sudah memenuhi imkan rukyah (visibilitas), yakni 5 derajat 31 menit 06 detik dengan elongasi 8 derajat 04 menit 07 detik dan lama hilal di atas ufuk 25 menit 51 detik. Sementara ijtimak (konjungsi) terjadi pada Selasa Pahing 31 Desember 2024 M pukul 05:27:49 WIB. Data tersebut diperoleh berdasarkan markaz Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, koordinat 6º 11’ 25” LS 106º 50’ 50” BT. Jika hilal dapat terlihat sore ini, maka mulai malam ini, umat Islam Indonesia telah memasuki bulan Rajab 1446 H.

Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/doa-rajab-yang-dipanjatkan-rasulullah-EUlXi

Pewarta: Muhammad Syakir NF

Editor: Muhammad Ni’amillah

Memaknai Wudhu Sebagai Sarana Mengingat Allah dalam Segala Hal

Pentingnya berwudhu dalam konteks ibadah

Seperti yang kita ketahui, bahwa wudhu merupakan syarat sah salat seorang muslim. Seseorang yang memiliki hadas (baik kecil maupun besar) maka hukumnya tidak sah dalam melaksanakan ibadah, khususnya salat. Oleh karena itu, awal mula muallaf (orang baru masuk Islam) maupun mukallaf (orang yang terkena beban hukum Islam) dalam menjalankan ibadah adalah dengan berwudhu terlebih dahulu. Seperti yang termaktub dalam surat al Maidah ayat 6 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Ayat di atas tidak menjelaskan secara spesifik istilah berwudhu, Namun, lebih ke visualisasi global seorang muslim yang hendak mengerjakan salat, seorang muslim wajib melakukan apa-apa yang ada dalam ibadah. Contohnya, Tarolah ketika orang ingin bertamu ke rumah orang, maka hendaknya memperindah diri minimal dengan melakukan mandi, memakai pakaian sopan dan berperilaku baik. Begitu pula ayat di atas, secara rinci ,menjelaskan syarat wajib dan syarat sahnya salat. Mengingat wudhu adalah hal yang urgen sebelum orang melakukan salat, maka hendaknya seorang muslim, harus selalu melanggengkan wudhunya agar selalu siap sedia dalam menjalankan kewajiban beribadah.

Manfaat dan Keutamaan berwudhu

Di samping berwudhu merupakan kewajiban untuk menjalankan beribadah, wudhu juga memiliki keutamaan dan manfaat yang dapat dijadikan landasan seseorang selalu mendawamkan wudhunya (daimul wudhu). Orang yang selalu beriman dan bertaqwa, ia akan menjaga wudhunya, meskipun berkali-kali batal. Tidak sekali dua kali dalam melakukan wudhu, tidak lain tidak bukan, ia merasakan begitu besarnya manfaat dan keutamaan berwudhu. Mengenai manfaat dan keutamaan wudhu dalam suatu hadis riwayat Ahmad, Nabi mengatakan:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَقْرَبُ وَضُوءَهُ ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ وَيَنْتَثِرُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ فَمِهِ وَخَيَاشِيمِهِ مَعَ الْمَاءِ حِينَ يَنْتَثِرُ، ثُمَّ يَغْسِلُ وَجْهَهُ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا وَجْهِهِ مِنْ أَطْرَافِ لِحْيَتِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا يَدَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَنَامِلِهِ، ثُمَّ يَمْسَحُ رَأْسَهُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا رَأْسِهِ مِنْ أَطْرَافِ شَعَرِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَغْسِلُ قَدَمَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَا قَدَمَيْهِ مِنْ أَطْرَافِ أَصَابِعِهِ مَعَ الْمَاءِ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَحْمَدُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِالَّذِي هُوَ لَهُ أَهْلٌ، ثُمَّ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُ

Artinya: “Tidaklah seorang pun dari kalian yang mendekati wudhunya, kemudian berkumur, menghirup air, dan melepaskannya, kecuali akan keluar kesalahan-kesalahan dari mulut dan hidungnya bersama air. Kemudian, tidaklah ia membasuh wajah sebagaimana yang diperintahkan Allah kecuali kesalahan-kesalahan wajahnya akan keluar dari ujung-ujung jenggotnya bersama air. Kemudian tidaklah ia mencuci kedua tangannya hingga siku kecuali kesalahan-kesalahan tangannya akan keluar dari ujung jari-jarinya. Kemudian, tidaklah ia mengusap rambutnya kecuali kesalahan-kesalahan kepalanya akan keluar dari ujung-ujung rambutnya bersama air. Kemudian, tidaklah ia membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki, sebagaimana yang diperintahkan Allah, kecuali kesalahan-kesalahan telapak kaki akan keluar dari ujung jari-jarinya bersama air. Kemudian, tidaklah ia berdiri dan mengucap hamdalah dan memuji Allah dengan pujian yang pantas untuk-Nya, kemudian shalat dua rakaat, kecuali ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya,” (HR. Ahmad).
Sumber: https://islam.nu.or.id/thaharah/inilah-keutamaan-dan-manfaat-berwudhu-lJFiz

Hadis di atas merupakan landasan orang yang beriman, menganggap bahwa dengan wudhu kita mendapat keuntungan berupa keutamaan yang amat agung. Di mana dalam kontek ilahiyah, seorang hamba akan terus bertaqarrub kepada Tuhannya dengan selalu mendawamkan wudhu dan melaksanakan ibadah dengan khusyuk.

Berwudhu dapat meningkatkan keimanan dan kenyamanan

Salah satu hal yang menarik dari wudhu adalah bahwa orang yang terlilit masalah, merasa resah dan gelisah, terlebih emosi yang tak terkontrol. Ia hanya akan bisa tenang dengan basuhan air wudhu. Maka dari itu, orang yang selalu mengutamakan wudhunya dalam segala hal, khususnya ketika ia berada dalam permasalahan yang tak kunjung kelar, salah satu jalannya ialah pasti mengambil air wudhu. Di samping istifghfar juga menjadi kalimat ampuh dalam setiap situsi dan kondisi. Namun, wudhu menjadi opsi yang manjur dalam mengingat Allah bagi muslim yang menemukan jalan buntu dan semu. Berwudhu, jika muslim menganggapnya suatu kebiasaan, maka tentu akan merasakan manisnya iman, dan meningkatnya kekuatan serta rasa nyaman.

Oleh karena itu, pembaca yang budiman, hendaknya kita mencontoh Nabi yang selalu menjaga wudhunya agar tetap meningkatkan sarana ibadah baik ibadah nawafil (sunah) maupun fardu (wajib). Berwudhu juga dapat menghapus kesalahan dan mengangkat derajat seseorang, jika orang tersebut menyempurnakan wudhu dengan sebenar-benarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat:

أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ تَعَالَى بِهِ الْخَطَايَا وَتُرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتُ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ، وَالصَّبْرُ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ.

Artinya, “Maukah kalian aku tunjukkan kepada kalian atas apa yang membuat Allah menghapus kesalahan dan mengangkat derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasul.” Beliau melanjutkan, “Menyempurnakan wudhu di pagi hari yang dingin, bersabar menghadapi perkara yang tidak ia senangi, memperbanyak langkah ke masjid, dan menanti shalat setelah shalat. Itulah ribath,” (HR. Muslim). Maksud ribath di sini adalah benteng dari musuh.

Sumber: https://islam.nu.or.id/thaharah/inilah-keutamaan-dan-manfaat-berwudhu-lJFiz

Demikian, penjelasan mengenai pentingnya berwudhu, manfaat, keutamaan serta perjalanan wudhu yang dapat meningkatkan keimanan dan kenyamanan. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kesehatan kepada kita agar dalam menjalankan ibadah-ibadah fardu maupun nawafil menjadi lebih khidmat dan khusyuk. Aamiin.