Keteladanan Imam Al-Ghazali: Adab dan Cinta Ilmu sebagai Jalan Keberkahan

Ilutrasi Kehidupan Imam Al-Ghazali, Foto: Freepik

Assaidiyyah.id: Perjalanan hidup Imam Al-Ghazali menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya adab, rasa hormat, dan cinta terhadap ilmu serta guru. Nilai-nilai ini bukan sekadar formalitas, melainkan kunci untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat dan keberkahan sejati.

Keberkahan sendiri merupakan sesuatu yang berada di ranah rasa, ia tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Namun nyata dapat dirasakan. Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa “rasa (dzauq) tak bisa dijelaskan dengan ucapan, melainkan hanya dapat diketahui melalui pengalaman langsung.” tulis Imam Al-Ghazali dalam kitab tersebut, dikutip pada Jumat, 17 Oktober 2025.

Kisah hidup Imam Al-Ghazali juga menunjukkan bahwa seorang guru sejati tidak pernah mendidik untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan sebagai bentuk pengabdian dalam menanamkan nilai-nilai bagi muridnya.

Perintah Syekh Al-Atiqi kepada Imam Al-Ghazali agar menyapu lantai, misalnya, bukan semata tugas fisik, tetapi latihan untuk membersihkan hati dari kesombongan agar siap menerima limpahan hikmah dan ilmu dari Allah.

“Sikap hormat dan penghargaan kepada guru telah menjadi bagian penting dalam tradisi pendidikan Islam selama berabad-abad.”

Salah satu kisah yang menggambarkan betapa tingginya adab seorang penuntut ilmu adalah kisah Imam Al-Ghazali (450–505 H), ulama besar yang rela menyapu lantai rumah gurunya dengan tangannya sendiri sebagai wujud kerendahan hati.

Ketawadhuan Imam Al-Ghazali saat Belajar Terhadap Saudaranya

Dalam kitab Maraqil Ubudiyah ‘ala Matan Bidayatil Hidayah karya Syekh Nawawi Al-Bantani (Semarang, Karya Toha Putra, t.t., hlm. 85–86), diceritakan bahwa kisah ini bermula dari saudaranya, Ahmad Al-Ghazali, yang jarang menjadi makmum ketika sang kakak menjadi imam.

Suatu ketika, Al-Ghazali meminta ibunya untuk menasihati Ahmad agar mau shalat berjamaah bersamanya guna menghindari penilaian negatif masyarakat.

Setelah mendapat nasihat ibunya, Ahmad pun menuruti dan menjadi makmum dalam shalat yang diimami Al-Ghazali. Namun, di tengah shalat, Ahmad tiba-tiba memisahkan diri (mufaraqah) karena pandangan batinnya memperlihatkan tubuh Al-Ghazali dipenuhi darah.

Usai shalat, Al-Ghazali menanyakan alasannya. Ahmad menjawab, “Ketika aku shalat di belakangmu, aku melihat tubuhmu berlumuran darah.” Jawaban itu mengejutkan Al-Ghazali, karena ternyata pada saat itu pikirannya sedang sibuk memikirkan hukum darah haid, khususnya tentang wanita mutahayyirah, yakni wanita yang mengalami pendarahan tidak menentu.

Kekaguman Al-Ghazali terhadap kepekaan batin saudaranya pun tumbuh. Ia bertanya dari mana Ahmad memperoleh kemampuan seperti itu. Ahmad menjawab, “Aku belajar kepada Syekh Al-Atiqi, seorang tukang jahit dan pembetul sandal.” Mendengar hal itu, Al-Ghazali segera berangkat untuk menemui guru tersebut.

Kepatuhan pada Sang Guru

Setibanya di sana, ia berkata, “Wahai guru, aku ingin menjadi muridmu dan menimba ilmu darimu.” Syekh Al-Atiqi yang terkenal zuhud menatapnya sejenak dan berkata, “Aku khawatir kamu tidak mampu menaati perintahku.” Al-Ghazali menjawab mantap, “Insyaallah aku sanggup.”

Sang guru pun menguji kesungguhannya. “Kalau begitu, bersihkan lantai ini,” perintahnya. Saat Al-Ghazali hendak mengambil sapu, sang guru menimpali, “Jangan gunakan sapu, bersihkan dengan tanganmu.” Tanpa ragu, Al-Ghazali pun melakukannya dengan sepenuh hati.

Belum berhenti di situ, sang guru kembali menguji dengan perintah lebih berat: “Sekarang bersihkan kotoran itu dengan bajumu.” Ketika Al-Ghazali hendak menuruti, Syekh Al-Atiqi melihat ketulusan luar biasa dalam dirinya, lalu menghentikan perintah itu dan memintanya pulang.

Sejak peristiwa tersebut, Al-Ghazali merasakan ketenangan batin yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Hatinya menjadi jernih dan terbuka untuk menerima cahaya ilmu dari Allah. Ia kemudian menyadari bahwa ilmu yang selama ini diajarkannya hanyalah sebagian kecil dari hikmah yang Allah anugerahkan setelah ia benar-benar menundukkan hati di hadapan gurunya.

Wallahu a‘lam.

Disadur dari laman kemenag.go.id

Editor: Muhammad Ni’amillah (Santri Pondok Pesantren Assa’idiyyah Gedongan)